Langsung ke konten utama

Prahara Di Tebing Breksi

Pagi harinya pertandingan segera dimulai. Lebih tepatnya latih tanding. Karena sejatinya pertandingan ini bukan untuk mencari siapa menang siapa kalah, namun lebih ke pertandingan persahabatan saja, untuk meningkatkan paseduluran diantara padepokan-padepokan yang ada di tlatah Mataram. Yang akan bertanding pertama kali adalah Indraswari murid dari padepokan lereng merapi melawan Ambarwati dari padepokan tebing breksi. Kedua-duanya sama-sama cantik dengan pesonanya masing-masing. Keduanya segera bersiap menuju gelanggang yang telah dipersiapkan. Gelanggang untuk pertandingan terletak di depan Pendopo Padepokan Tebing Breksi. Adapun peserta yang lain menonton mengitari lapangan. Ada juga penduduk desa disekitar padepokan yang turut menyaksikan pertandingan karena memang diperbolehkan oleh Ki Adanu. Ki Satya beserta Ki Adanu, dan tamu undangan yang lain duduk lesehan di Pendopo  di atas tikar yang disediakan untuk menyaksikan jalannya pertandingan dari kejauhan sambil menikmati hidangan makanan dan minuman ala kadarnya.

"Bersiaplah Nimas, jangan ragu-ragu untuk menyerangku" kata Indraswari. "Baiklah Adinda, beri petunjuk kepada sahabatmu ini" jawab Ambarwati. Kedua-duanya kemudian mengatur pernafasan dan memasang kuda-kuda. "Bersiaplah Adinda" Ambarwati langsung meloncat menyerang dengan lincahnya. Ia banyak menyerang menggunakan kekuatan kakinya yang merupakan ciri khas dari perguruannya. Indraswaripun meladeni serangan Ambarwati dengan tenangnya. Serangan Ambarwati yang bergulung-gulung mengurungnya dihindarinya dengan tangkas. Kadang-kadang iapun menangkis dengan tangannya. "Hati-hati Nimas, terimalah serangan balasan dariku" Indraswari balik menyerang dengan mengandalkan kekuatan dan kelincahan pukulan tangannya yang merupakan ciri khas dari perguruannya. Keduanyapun saling jual beli pukulan dan serangan. Pertandingan berjalan sangat seru. Penonton bersorak-sorai memberi semangat.

Setelah sekian lama bertarung, nampak bahwa Indraswari lebih unggul. Perlahan-lahan Ambarwati terdesak oleh serangan-serangan yang dilancarkan oleh Indraswari. Satu dua pukulan dan tendangan mulai bersarang di badannya. Badanya mulai lebam-lebam karena terluka. "Berhenti" teriak Ki Satya dan Ki Adanu secara hampir bersamaan. Sebelum Ambarwati mengalami cidera yang serius, Ki Satya dan Ki Adanu dengan bijaksana telah menghentikan jalannya pertandingan. Mendengar perintah dari Ki Satya, Indraswari dan Ambarwatipun segera berhenti bertarung dan masuk ke dalam bangunan yang ada di padepokan untuk bersistirahat dan mengobati luka-luka yang diperoleh selama pertandingan berlangsung.

Pertandingan berikutnya adalah Wilalung yang bertubuh tinggi besar melawan Danurdara. Keduanya segera masuk ke gelanggang pertandingan dan masing-masing segera mempersiapkan diri. "Bersiaplah Kangmas Wilalung, aku tidak akan segan-segan untuk menyerangmu" kata Danurdara memperingatkan. "Baiklah Adi Danurdara, aku sudah siap menerima seranganmu" jawab Wilalung dengan penuh percaya diri. Tanpa banyak basa-basi Danurdara langsung menyerang Wilalung dengan dashyatnya. Danurdara lebih banyak mengandalkan serangan lewat tendangan kakinya sesuai dengan ciri khas perguruannya yaitu Tendangan Geledek. Dengan tubuhnya yang tinggi besar, Wilalung agak kesulitan dalam menghindari setiap serangan dari Danurdara. Untuk itu Ia lebih banyak bertahan dengan cara menangkis setiap serangan dari Danurdara. Tidak terelakan, diantara keduanya sering terjadi benturan kekuatan. perlahan-lahan, keduanyapun mulai diliputi kelelahan.

Setelah sekian lama bertahan, Wilalung mulai kehilangan kesabarannya. Iapun meloncat kebelakang untuk mempersiapkan diri menggunakan ilmu pamungkasnya. Ia mengatur pernapasannya. Meskipun Wilalung baru mencapai tingkat ketiga dari jurus Kepalan Geledek namun Ia tidak bisa diremehkan. "Bersiaplah Adi Danurdara" teriak Wilalung. Menyadari Wilalung telah menyiapkan jurus pamungkasnya Danurdarapun tidak mau ketinggalan segera memasang kuda-kuda untuk mengeluarkan jurus andalannya "Tendangan Geledek". Tidak berapa lama kemudian Wilalungpun telah mulai menyerang dengan pukulan tangannya yang telah dilambari dengan ilmu Kepala Geledek". Serangannya meskipun agak lambat namun cukup bertenaga. Menyadari bahwa akan sangat fatal jika ia sampai terkena pukulan kepalan geledek dari wilalung maka Danurdarapun berusaha menghindari setiap serangan dari wilalung. Danurdara dengan lincahnya berloncatan kesana kemari menghindari pukulan-pukulan yang berbahaya dari Wilalung. Namun meskipun begitu beberapa kali telah terjadi benturan kekuatan diantara keduanya dan Danurdarapun mulai merasakan nyeri di sekujur badannya.

Lambat namun pasti, serangan Wilalungpun semakin lama semakin mengendor. Rupanya ia mulai kehilangan banyak tenaga. Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan secepat kilat Danurdara menendang  bagian pinggang dari Wilalung dan iapun tidak sempat menghindar. "Aduh, sakit" teriak Wilalung tanpa sengaja. Iapun meloncat mundur dan merasakan nyeri dipinganggnya. "Aku mengaku kalah Adi" kata Wilalung kepada Danurdara. "Berhenti, pertandingan kalian sudah cukup" teriak Ki Adanu. Penontonpun bersoraksorai menyemangati keduanya. "Bagaimaka Kakang wilalung, tidak terluka parah kan?" tanya Danurdara. "Tidak Adimas, kamu memang hebat, suatu saat nanti kamu bisa menjadi pendekar yang tangguh" puji Wilalung kepada Danurdara. "Terimakasih Kakang. Kangmas juga hebat, saya juga terluka ini, mari kita ke pendopo biar kita bisa beristirahat dan dapat segera diobati lukannya" ajak Danurdara. "Mari Adi Danurdara" jawab Wilalung. Keduanyapun berjalan agak tertatih-tatih menuju ke pendopo padepokan.

Pertandingan berikutnya adalah dua lawan dua. Ki Satya dan Ki Adanu telah sepakat, biar pertandingan tidak membosankan maka polanya di rubah dari satu lawan satu diubah menjadi dua lawan dua. Bhadrika dan Nismara murid Ki Satya dari Padepokan Lereng Merapi akan melawan Abiyasa dan Admaja murid Ki Adanu dari Padepokan Tebing Breksi. "Silahkan persiapkan diri kalian masing-masing" perintah Ki Adanu dengan tegas. Bhadrika, Nismara, Abiyasa dan Admaja segera bergegas mempersiapkan diri. Tidak berapa lamapun mereka berempat telah bersiap di gelanggang pertandingan. Penontonpun bersorak-sorak memberi semangat.

"Bersiaplah Kakang berdua, aku akan segera menyerang" kata Bhadrika kepada Abiyasa dan Admaja. "Baik Adi, kami berdua sudah siap menanti serangan dari kalian" jawab Abiyasa. Tidak berapa lama kemudian Bhdarika dan Nismara dengan gerak hampir serentak telah melompat menyerang dengan pukulannya yang cepat dan dahsyatnya. Inilah yang menjadi ciri khas perguruan lereng merapi, kepalan geledek. Namun Abiyasa dan Admaja bergerak dengan lincahnya menghindari kadang menangkis setiap serangan dari Bhadrika dan Nismara. Kemudian sesekali keduanya juga melakukan serangan balik dengan kekuatan dan kecepatan tendangan yang menjadi ciri khas perguruan tebing breksi, tendangan halilintar.

Penontonpun bersorak sorai memberi semangat kepada peserta yang sedang bertanding. Pertandingan ini makin lama makin memanas. Kedua kubu ini saling jual beli serangan. Gerakan keempatnya yang cepat bahkan sulit diikuti oleh mata biasa. Mata awam hanya akan melihat seperti lingkaran yang bergulung-gulung disertai dengan suara benturan yang keras. 

Namun setelah sekian lama bertanding, nampak bahwa Abiyasa dan Admaja mengungguli Bhadrika dan Nismara. Serangan keduanya semakin sering mendarat ke badan murid Ki Satya. Menyadari hal ini Ki Satya segera berteriak. "Berhenti". Keempatnya segera menghentikan pertandingan. "Setelah saya dan Ki Adanu mengamati, Abiyasa dan Admaja ternyata lebih unggul dari Bhadrika dan Nismara. Nah sekarang kalian berempat bisa beristirahat untuk mengobati luka kalian" lanjut Ki Satya memberi perintah.

Mereka berempat segera bergegas menuju pendopo untuk sekedar beristirahat dan mengobati luka-luka yang diderita akibat mengikuti pertandingan.

Sebelum pertandingan selanjutnya dimulai, tiba-tiba terdengar suara tawa yang keras menggelegar namun sangat menyakitkan untuk didengarkan. "Hai Adanu, Satya, kalian bermain-main kenapa kami tidak diundang" terdengar suara yang berat dan mengerikan. "Hei, kamu siapa, kesini kalau berani" Ki Satya menjawab. "Tampakan batang hidungmu hai tamu tak diundang" Kata Ki Adanu menimpali. "Ha ha ha ha, siapa takut" tiba-tiba muncul dua kelebat bayangan yang langsung turun ke gelanggang pertandingan. "Oh, rupanya kamu Ki Gardapati dan Ki Saraga, ada apa berani membuat keributan di sini" tanya Ki Satya. "Aku ingin tahu seberapa dashyat kepalan geledekmu Satya" jawab Ki Gardapati. "Kalau aku ingin tahu seberapa hebat tendangan halilintarmu Adanu" jawab Ki Saraga. Dunia persilatan sudah mengenal dua tokoh yang sangat terkenal di dunia hitam. Ki Gardapati adalah tokoh hitam yang terkenal kejam dan bengis dan menebar kejahatan dimana-mana. Ki Gardapati terkenal dengan julukannya bayangan hitam dari pantai selatan. Sedangkan Ki Saraga terkenal dengan julukannya pemetik bunga dari nusa kambangan karena kegemarannya dengan gadis-gadis muda yang masih perawan.

"Mana murid-murid perempuan kalian yang cantik-cantik dan masih muda, akan aku bawa ke Nusakambangan untuk menemaniku bersenang-senang" tiba-tiba Ki Saraga berkata dengan keras sambil matanya jelalatan mencari-cari murid perempuan Ki Satya dan ki Adanu dengan mata cabulnya. "Jaga mulutmu Saraga, dasar mulut sampah" Ki Satya marah sekali. "Dasar pendekar kurang ajar, sudah bosan hidup ya?" Ki Adanu juga marah sekali. Indraswari dan Ambarwati bergidik ngeri tak dapat membayangkan bila bersama Ki Saraga. "Buktikan, omongan besar kalian, maju kalian berdua hadapi seranganku ini" kata Ki Saraga sambil menyerang Ki Satya dan Ki Adanu. Ki Saraga langsung menyerang dengan senjata andalanya rantai panjang yang ujungnya terdapat mata kampak yang sangat tajam. Ki Adanu dan Ki Satya harus berhati-hati jika tidak ingin terkena senjata andalan dari Ki Saraga. Ki Saraga memutar-mutar senjatanya dengan cepat dan sesekali seperti mematuk dengan derasnya menuju badan Ki Satya dan ki Adanu. Tidak dapat dibayangkan apabila senjata itu dapat mengenai korbannya. Pertempuranpun menjadi tidak seimbang, karena perlahan tapi pasti Ki Satya dan Ki Adanu terdesak oleh rantai berujung kampak yang berputar-putar dan mematuk mengerikan mencari mangsa. Untuk mengimbangi senjata dari Ki Saraga dengan terpaksa Ki Satya mengeluarkan senjata pusaka andalannya sepasang pedang tipis yang kelihatannya sangat tajam sekali. Ki Adanu juga tidak mau kalah juga mengeluarkan senjata pusaka andalannya tombak pendek dari kayu sonokeling yang ujungnya terdapat mata pisau yang sangat tajam. Setelah kedua pendekar beraliran putih itu mengeluarkan senjata pusakanya secara perlahan-lahan Ki Saraga mulai terdesak. Ki satya dan ki Adanu dengan padu silih berganti menyerang Ki Saraga. Benturan senjatapun lebih sering terjadi. Setelah bertarung sekian lama ketiganyapun mulai kelelahan. Ki Satya dan Ki Adanu ingin segera menyelesaikan pertarungan. Keduanya meningkatkan serangan dan pada akhirnya pada satu kesempatan, Ki Satya dengan sepasang pedang tipisnya berhasil menggores lengan dari Ki saraga. "Aduh, kurangajar kalian" teriak Ki Saraga kesakitan dan senjatanya terlepas dari genggamannya. "Berhenti, apakah kalian tidak malu mengeroyok sahabatku Ki Saraga" teriak Ki Gardapati menghentikan pertandingan. Mendengar teriakan itu Ki Satya dan Ki Adanu segera meloncat mundur dan menghentikan serangan terhadap Ki Saraga.

"Sekarang siapa yang akan melawanku, atau apakah kalian akan mengeroyoku juga, ayo maju, aku sama sekali tidak takut" tanya Ki Gardapati kepada Ki Satya dan Ki Adanu. Ki Gardapati adalah tokoh dunia persilatan dari golongan hitam yang sangat ditakuti. Ia sangat kejam dan tidak segan-segan untuk membunuh lawannya. Tingkatan ilmunya jauh melampaui Ki Saraga sahabatnya. Ki Gardapati terkenal dengan julukan bayangan hitam dari laut selatan. Ilmunya yang terkenal adalah Tapak Es Penghancur raga. Setiap orang yang terkena ajian Tapak Es Penghancur Raga bisa beku seluruh badannya dan terluka dalam yang sangat sulit dapat dipulihkan. Ki Satya dan ki Adanu berpandang-pandangan. Sejujurnya keduanya ngeri kalau harus melawan Ki Gardapati. Keduanya sudah kehilangan banyak tenaga ketika melawan Ki Saraga. Apalagi harus melawan Ki Gardapati yang kesaktianya jauh melampaui Ki Saraga belum lagi keadaannya masih segar bugar. "Kenapa kalian tidak menjawab, apakah kalian takut menghadapiku, kalau begitu menyerahlah, biarkan aku menghancurkan padepokan kalian, karena kalian sudah tidak pantas lagi memimpin?" tanya Ki Gardapati mulai tidak sabar. "Baiklah Ki Gardapati, kami berdua akan melawanmu" jawab ki Satya. Mendengar jawaban Ki Satya, Adinata khawatir dengan kondisi kesehatan Ki Satya yang kelelahan dan memberanikan diri untuk tampil melawan Ki Gardapati. "Tunggu guru, ijinkanlah ananda yang melawan Ki Gardapati. Guru berdua silahkan beristirahat dulu" Kata Adinata. Ki Satyapun agak kaget mendengar permintaan Adinata anak muridnya. "Apakah kamu yakin Adinata, sudah tahukah akamu resikonya?" tanya Ki Satya meyakinkan. "Ananda sudah tahu guru, ijinkahnlah ananda untuk melawannya, saya sangat yakin dengan kemampuan ananda" jawab Adinata meyakinkan gurunya. "Baiklah, kamu akan aku beri kesempatan, berhati-hatilah, Ki Gardapti sangat berbahaya" nasihat Ki Satya. "Baiklah guru, mohon ijin guru, saya akan melawannya" jawab Adinata.

Berkata Adinata kepada Ki Gardapati dengan sopan. "Mohon ijin Ki Gardapati, berikanlah anak muda ini sejurus dua jurus untuk menambah khazanah ilmu kanuraganku". "Hem, bagus anak muda. Kamu masih punya unggah-ungguh dengan orang yang lebih tua. Sudahkah kamu siap dengan resikonya melawanku. Aku tidak akan segan-segan melenyapkanmu" kata Ki Gardapati. "Aku sudah siap Ki, bersiaplah menerima seranganku".

Tidak berapa lama kemudian Adinata sudah berhadap-hadapan dengan Ki Gardapati di gelanggang pertandingan. Orang-orang yang tadinya ketakutan mulai mendekat karena penasaran dengan pertarungan selanjutnya yang akan terjadi. Adinata langsung saja meloncat menyerang dengan lincahnya. Ki Gardapati terkejut dengan serangan yang dilancarkan oleh Adinata. Bahkan beberapa kali ia terpaksa meloncat mundur untuk sedikit menjaga jarak. "Hem, anak muda, aku akui kamu memang punya cukup bekal ilmu. Aku tak akan segan-segan lagi menyerangmu, terimalah seranagn balasanku ini anak muda". Ki Gardapati langsung menyerang dengan ganasnya. Tendangan dan pukulannya sangat berbahaya karena dilambari dengan tenaga dalam tingkat tinggi. Namun ternyata Adinata mampu mengimbanginya. Tanpa disadari oleh Adinata, kebiasaannya selama ini berlatih dengan Induk Harimau Jawa dan Si Loreng telah melipatgandakan ilmunya. Ki Satya beserta saudara seperguruan Adinata yang lainpun takjub dengan kemampuan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Adinata. Sesekali adinata menghindar dan sesekali menangkis serangan dari Ki Gardapati. Benturan kekuatan diantara keduanya begitu hebat dan membuat para penonton menjadi bergidik ketakutan dan mulai agak menjauh dari arena pertandingan.

Tak terasa siangpun telah berganti malam. Namun pertandingan diantara keduanya belumlah selesai. Ki Gardapati yang sudah mulai tidak sabar mulai mempersiapkan diri untuk mengeluarkan ilmu pamungkasnya "Tapak Es Penghancur Raga". Ki Gardapati meloncat jauh ke belakang. Kemudian ia memasang kuda-kuda dan mengatur pernafasannya. Tangannya direntangkan seolah-olah sedang mengumpulkan hawa dingin disekitarnya. Perlahan-lahan namun pasti hawa dingin mulai menyelimuti kawasan disekitar padepokan tebing breksi. Butiran-butiran es mulai muncul di sekitar arena pertandingan. Adinatapun merasakan hawa dingin yang teramat sangat. Badannyapun mulai membiru karena kedinginan.  

Penonton pertandinganpun turut merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. "Kalian menjauhlah, jangan sampai badan kalian membeku" Ki Satya memperingatkan. Para penontonpun segera menjauh dari arena peratrungan. Mereka melihat pertandingan dari jarak yang cukup jauh. "Bersiaplah menerima ajalmu anak muda" Ki Gardapati berkata kepada Adinata. Ki Satya yang melihat Adinata badannya membiru karena kedinginan menjadi khawatir. Jika terkena pukulan tapak es penghancur raga bisa-bisa badan Adinata akan langsung membeku dan dapat menemui ajal. Adinatapun menjadi khawatir. Badanya terasa beku dan seluruh tulang-belulangnya terasa sakit. Namun dalam keputusasaannya tanpa ia sadari Adinata mengeluarkan auman harimau yang sangat keras dan menggetarkan. "Hrrr..... Hrr..... Hrr......". Tiba-tiba hawa dingin yang tadi menyelimuti tebing breksi perlahan-lahan pudar dan akhirnya hilang berganti menjadi hawa hangat. Badan Adinatapun perlahan-lahan menjadi normal kembali dan sudah tidak membiru lagi. Ki Gardapati, Ki Satya, Ki Adanu, murid-murid Ki Satya dan Ki Adanupun terkejut. "Kurang ajar kamu anak muda, terimalah seranganku ini" teriak ki Gardapati.

Setelah hawa dingin dari ilmu tapak es penghancur raga dapat diatasi, kini Adinata tinggal melawan tapak es penghancur raga yang sudah kehilangan tajinya yaitu hawa dingin yang serasa menusuk tulang belulang. Meskipun begitu tapak es penghancur raga tetaplah berbahaya dan sama sekali tidak bisa diremehkan. Karena dengan dilambari tenaga dalam yang sangat tinggi, maka ilmu tapak es tetaplah mematikan. 

Dalam kemarahannya yang amat sangat, Ki Gardapati langsung menyerang Adinata dengan ilmu andalannya itu. Namun Adinata dapat menghindarinya dengan lincah. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi lawannya tokoh persilatan dari dunia hitam. Ki Gardapati dalam kemarahannya yang meluap-luap, menyerang Adinata dengan ganasnya menggunakan ilmu andalannya Tapak Es Penghancur Raga. Adinata yang sedari tadi menghindar, perlahan-lahan mulai terdesak dan lama-lama menjadi terdesak hebat. Adinatapun tidak mau mati konyol. Iapun melompat jauh ke belakang untuk mengeluarkan ilmu pamungkasnya Tapak Geledek. Menyadari Adinata menyiapkan ilmu pamungkasnya, Ki Gardapatipun mempersiapkan diri. Ia meloncat mundur dan mempersiapkan ilmu Tapak Es Penghancur Raga pada tingkatan tertinggi dan bersiap membenturkanya dengan ilmu tapak geledek kebanggaan padepokan lereng merapi. "Rupanya kamu akan menggunakan ilmu pamungkasmu tapak geledek anak muda, bersiaplah untuk berbenturan dengan ilmu pamungkasku tapak es penghancur raga" kata Ki Gardapati. "Bersiap-siaplah Ki Gardapati, jangan salahkan aku jika kamu menjadi terluka karenanya" jawab Adinata. "Jangan banyak sesumbar anak muda, bersiaplah". Para penontonpun bergidik ngeri melihat pertarungan hebat yang terjadi diantara keduanya. Terlebih Ki Satya dan saudara perguruan Adinata yang lain yang menjadi sangat kagum bercampur khawatir terhadap Adinata.

Tidak berapa lama kemudian keduanya meloncat ke depan dengan kecepatan tinggi sambil mengangkat tangan kanan masing-masing yang sudah dilambari dengan ilmu pamungkas tapak es melawan tapak geledek. Keduanya membenturkan telapak tangan kanannya sambil meloncat diudara. Ada asap yang mengepul keudara ketika benturan terjadi. Dan hasilnya sungguh mengejutkan. Ki Gardapati langsung terlempar ke belakang dan pingsan. Sedangkan Adinata masih bisa berdiri meskipun terhuyung-huyung dan mau jatuh. Ki Satya segera menangkap Adinata tubuh supaya tidak terjatuh. "Kamu tidak apa-apa Ngger?" tanya Ki Satya kepada murid kesayangannya itu. "Badanku terasa lemas sekali guru dan tulang ku serasa sakit semua" jawab Adinata. "Tidak apa-apa Ngger, beristirahatlah, nanti kita obati lukamu dan bisa sembuh seperti sediakala" jawab ki Satya menghibur muridnya.

Ki Saraga melihat kawannya pingsan kemudian membopongnya pergi. "Tunggu pembalasanku" teriak Ki Saraga dengan marah. Ki Satya, Ki Adanu dan beserta murid-murid dari dua perguruan tidak menghiraukan teriakan Ki Satya dan segera menuju ke pendopo padepokan untuk beristirahat dan makan minum sekedarnya.

Ki Satya dan saudara seperguruannya yang lain, serta Ki Adanu dengan murid-muridnya mendekati Adinata yang sedang beristirahat. "Ini minumlah obatnya Ngger biar cepat sembuh" kata Ki Satya dengan lembut. "Terimakasih guru" jawab Adinata dengan suara pelan karena badannya masih lemah. "Kamu hebat Adinata, kamu bisa melawan Ki Gardapati, padahal ilmunya jauh lebih tinggi dari kami berdua" puji Ki Satya. "Terimakasih Guru, itu semua berkat bimbingan dan doa dari guru berdua" jawab Adinata masih merendah. Ambarwati murid Ki Adanu terkagum-kagum dengan Adinata. Adinatapun menyadarinya. Ki Satya dan Ki Adanu yang memperhatikan mereka berdua tersenyum-senyum. "Ambarwati, cobalah kau suapi Adinata, badannya masih lemah, tidak bisa menyendok nasi sendiri" perintah Ki Adanu. "Ah, guru" Ambarwati tertunduk malu dan pipinya memerah. Adinatapun juga tertunduk malu. "Ah, jangan begitu guru, masak aku tidak kuat menyendok nasi" jawab Adinata dengan lugunya. Dan seisi pendopo tertawa melihat tingkah laku mereka berdua.

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menemui bocah sakti ke gunung api purba nglanggeran

 Ki Gede Aryaguna mengoleskan minyak kayu putih ke hidung dada dan punggung Adinata. Tidak berapa lama kemudian Adinatapun tersadar dari pingsannya. "Alhamdulilah kamu sudah sadar ngger" berkata Ki Gede Aryaguna dengan lemah lembut. "Dimanakah aku Ki Gede ?" kata Adinata masih agak bingung karena baru terbangun dari pingsannya. Kamu masih di lapangan dusun Hargowilis Ngger, untung kamu tidak kurang suatu apa. Marilah kita beristirahat dirumah biar kamu bisa diobati lebih lanjut" berkata Ki Gede Aryaguna panjang lebar. "Terimakasih Ki Gede" jawab Adinata. "Anakmas Senopati, kamu minta tolonglah kepada adik seperguruan ananda Adinata untuk memapah Adinata kerumahku, dan sekalian umumkan kepada seluruh prajurit dan para pemuda kalbiru untuk beristirahat dan makan dirumahku" kata Ki Gede. "Baiklah Ki Gede, lalu bagaimana dengan para prajurit dan pemuda yang gugur, juga penjahat yang tewas" tanya Senopati Puspanidra. "Kuburkanlah d

Semburat Merah Jingga Di Kalibiru

 Kisah Adinata, murid padepokan lereng merapi yang mampu mengalahkan Ki Gardapati tokoh dunia hitam secara perlahan namun pasti terdengar ke seluruh pelosok kerajaan Mataram. Hingga pada suatu hari datanglah seorang utusan dari Kerajaan Mataram. Ki Satya menyambut kedatangan utusan itu dengan riang gembira. "Selamat datang Tumenggung Sadawira, sudah lama sekali ananda tidak berkunjung kemari" sapa Ki Satya menyapa tamunya. "Maafkan saya guru, saya berjanji akan lebih sering berkunjung kemari" jawab Tumenggung Sadawira dengan sopan. Sambil membungkukkan badan ia mencium tangan gurunya. Adinata dan seluruh adik seperguruannya terheran-heran. "Ketahuilah semua muridku, Tumenggung Sadawira ini adalah salahsatu muridku yang mengabdi di kerajaan Mataram" Ki Satya menerangkan jati diri tamunya. "Oh, begitu guru, saya baru paham" jawab Adinata mewakili adik seperguruannya. "Hormat hamba kepada Tumenggung Sadawira" Adinata sedikit membungkukkan

Bangkitnya Ksatria Mataram

Ambarwati masih terus menangis khawatir dengan keadaan Adinata, kekasihnya. Melihat itu Ki Jangkung tertawa-tawa kegirangan. "Ha ha ha, sebentar lagi kekasihmu akan memasuki pintu neraka" ejeknya kepada Ambarwati. "Kurang ajar kamu Ki Jangkung, akan aku balas kamu" teriak Ambarwati dengan marah. Ambarwati segera berdiri. Ia berniat untuk bertarung dengan ki Jangkung sampai titik darah penghabisan. Adinata sebenarnya tidak pingsan. Ia masih sadar dengan semua yang terjadi. Ia khawatir sekali dengan Ambarwati yang akan melawan Ki Jangkung. Namun ia harus menahan diri. Perlahan-lahan ia berusaha memulihkan dirinya. Meskipun tidak dalam posisi yang sempurna, ia berusaha menggunakan jurus pembalik raga penghancur bala yang diperolehnya dari Ki Gede Aryaguna. Dalam tingkat kemarahannya yang amat sangat, ia langsung akan menyerang Ki Jangkung dengan ilmu andalannya Jurus getar bumi. Namun sebelum ia menyerang Ki Jangkung, Ki Saraga telah melompat masuk ke gelanggang pertar